Cerpen anak adalah sebuah karangan fiktif yang pada dasarnya tidak berbeda dengan hakikat cerpen maupun sastra fiksi pada umumnya. Cerpen sendiri merupakan sebuah karangan berbentuk prosa naratif dan fiktif dengan konten yang beranekaragam. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan cerita pendek anak hanyalah salah satu jenis cerpen bila dibedakan berdasarkan target usia pembacanya. Umumnya cerita pendek anak menggunakan bahasa yang lebih ringan, lebih imajinatif, lebih menarik, pemilihan kosa kata yang sederhana, tidak terlalu terikat dengan logika serta realita, dan memiliki tema yang sesuai dengan perkembangan anak seperti petualangan dan persahabatan. Dalam cerita pendek anak, tokoh utama bisa berusia berapa saja, asalkan ceritanya sesuai dengan diri anak-anak. Hanya saja, umumnya tetap ada karakter anak dalam cerita pendek yang
Kumpulan Cerpen Anak Terbaru
PUTRI PERMEN
Oleh : Nani Asmarani
Ilustrasi : Farid S. Madjib
Tema : Tentang pertemanan, persahabatan
Namanya Lani, namun di sekolah dia lebih dikenal dengan sebutan Putri Permen. Mau tahu mengapa? Karena dia sangat suka membagi-bagikan permen kepada teman-temannya. Setiap hari dia selalu membawa sekantong permen ke sekolah.
”Bu, mana permen-permen yang akan kubawa?” tanya Lani suatu pagi. Dia kebingungan karena tidak mendapati sekantong permen yang akan dibawa. Biasanya kantong plastik putih berisi permen sudah ada di dekat tas sekolahnya.
”Hari ini tidak ada permen lagi, Lan. Persediaan sudah habis. Nanti siang Ibu akan beli lagi di supermaket,” jawab ibu tak acuh.
”Ah, Ibu gimana, sih! Jika Lani tidak membawa permen pasti teman-teman Lani menjauh. Lani tidak punya teman lagi,” jawab Lani uring-uringan. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca.
”Lho, kamu bisa kan bisa tetap punya teman tanpa harus membawa permen?” kata ibu sambil memandang Lani. Rani cemberut mendengar komentar ibunya. Bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya.
”Sudahlah! Ibu tidak sayang aku lagi,” sahut Lani sambil mengambil tas sekolahnya dengan kasar. Tanpa mengucap salam dia pun berlari ke luar.
***
Putri Permen”Hai Putri Permen, bagi permennya , dong!” Cici, Ita, Nunik, Rino dan beberapa siswa menyambut kedatangan Lani dengan gembira. Lani tidak menjawab. Dia menunduk. Dia sama sekali tak menatap wajah teman-temannya.
”Maaf, Teman, kali ini aku tidak membawa permen. Aku janji besok akan membawanya,” jawab Lani terbata-bata.
”Wah, nggak asyik kalau main sama kamu tanpa mengunyah permen!” komentar Rino.
”Iya, apalagi jika besok tidak membawa, kita cabut saja julukan Putri Permen darinya.” timpal Cici. Lani tak menghiraukan ocehan teman-temannya. Dalam hati dia menyalahkan ibunya yang tidak menyediakan permen untuknya. Kini dia dijauhi teman-temannya.
Pulang sekolah, wajah Lani masih terlihat kusut. Tanpa makan siang dia langsung menuju kamarnya. Dia benar-benar marah kepada ibunya.
”Lan, ayo makan siang dulu!” kata ibu mencoba membujuk Lani. Hening, tak ada jawaban. Ibu lalu menghampiri Lani yang sedang berbaring di tempat tidur. Sebuah bantal menutupi wajahnya. Sekali lagi ibu membujuknya untuk makan siang. Namun Lani tetap bergeming.
”Ayo, nanti makan siangmu keburu dingin. Ada bakwan udang kesukaanmu, lo!” bujuk ibu lagi.
”Tidak mau. Aku kesal sama Ibu. Gara-gara tidak membawa permen, teman-teman menjauhiku. Julukan Putri Permen juga akan hilang jika besok aku tidak membawa permen lagi,” jawab Lani dengan suara keras.
”Besok aku tak mau sekolah jika tak ada permen!” ancamnya. Ibu hanya memandang Lani. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu.
Esoknya, ibu masih belum juga menyediakan permen untuk Lani.
”Ibu memang benar-benar tidak sayang padaku!” teriak Lani lalu pergi sekolah tanpa pamit. Ibu memandang Lani dari jauh. Ibu memang sengaja tidak membekali Lani dengan permen supaya Lani mengerti bahwa untuk mempunyai teman tak seharusnya dengan cara itu.
”Hai, itu Putri Permen datang, ayo kita serbu!” teriak Rino. Dia berlari menghampiri Lani diikuti Cici dan Ita.
”Hai Putri, mana permen-permennya, bagi dong?” ujar Cici, Rino, dan Ita serempak. Lani tidak menjawab. Dia langsung masuk ke dalam kelas. Rino dan kedua temannya saling pandang. Mereka mengejar Lani ke kelas.
”Lani, kamu tidak bawa permen, ya? Itu artinya kamu tak mau bertemu lagi dengan kami. Dan kamu bukan lagi Putri Permen,” kata Ita berapi-api. Lani tetap diam. Matanya menatap serius puisi di kertas yang digenggamnya.
Hari itu Bu Irra, guru Bahasa Indonesia di kelasnya akan menilai kemampuan seluruh siswa dalam membaca puisi. Yang terbaik akan diikutsertakan dalam lomba membaca puisi antar sekolah. Keadaan kelas begitu hening ketika pembacaan puisi dimulai. Bu Irra menilai dengan seksama setiap siswa yang tampil. Lani mendapat tepukan riuh saat selesai membaca puisi. Bahkan ketika hasil penilaian diumumkan Lani yang terpilih sebagai pemenang. Wow, Lani merasa senang sekali. Dia dikerumuni teman-teman sekelasnya yang memberinya ucapan selamat.
”Selamat ,ya, Lani, bagus sekali caramu membaca puisi tadi!” kata Indah dan Tari. Lani tersipu dipuji seperti itu.
Sejak saat itu Lani semakin dikenal di sekolahnya. Temannya pun semakin banyak. Mereka ingin berteman dengan Lani buka karena Lani memberi mereka permen , tapi karena dia pandai membaca dan menulis puisi. Lani kini mengerti mengapa ibu tidak lagi membekalinya permen.
Suara Merdeka, 27 Januari 2013
Anjing dan Bayangannya
Seekor anjing yang mendapatkan sebuah tulang dari seseorang, berlari-lari pulang ke rumahnya secepat mungkin dengan senang hati. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.
Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.
======
Pemerah Susu dan Embernya
Seorang wanita pemerah susu telah memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat dia berjalan pulang, dia berpikir dan membayang-bayangkan rencananya kedepan.
"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "akan memberikan saya banyak cream untuk dibuat. Saya akan membuat mentega yang banyak dari cream itu dan menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!"
Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, dia menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta kebanggaannya.
Burung Gagak dan Sebuah Kendi
Pada suatu musim yang sangat kering, dimana saat itu burung-burungpun sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum, seekor burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air. Tetapi kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit. Bagaimanapun burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, dia tetap tidak dapat mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan meninggal karena kehausan.
Kemudian tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia lalu mengambil kerikil yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu. Setiap kali burung gagak itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendipun berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi hingga akhirnya air tersebut dapat di capai oleh sang burung Gagak.
Seruling Ajaib
Matahari bersinar dengan teriknya. Dimas, Bagas, Satria, dan Ludvi berjalan pulang sekolah menuju rumah Ludvi. Mereka akan mengerjakan tugas kelompok. Saking panasnya, Bagas mengeluh,
“Mataharinya panas banget. Dimas, jajanin es dong.”
“Iya nih. Traktirin, ya… Please…” Satria memasang muka memelas.
“Ah, teman-teman, bentar lagi juga nyampe rumahku. Ntar begitu nyampe aku bikinin es teh, apa es jeruk, es buah, es sandal, terserah deh!” kata Ludvi sambil mengelap keringatnya.
Nampak sebuah mobil, ternyata mobil Doni.
“Hai kawan-kawan!” sapa Doni membuka jendela mobil. “Cepetin jalannya, ya. Dadahh…” seru Doni.
Dimas hanya sebal. “Huh, makanya ajak kami juga dong!”
Sahabat-sahabatnya hanya ikut bersungut-sungut.
Tibalah mereka di rumah Ludvi. Benar, Dimas, Bagas, dan Satria disuguhi minuman es.
“Eh, mana es sandalnya?” canda Dimas
“Ih… Dimas, kamu mau? Sana ambil sandalnya Ludvi. Sana…” sahut Satria bercanda. Mereka tergelak.
Satu jam kemudian, tugas mereka telah selesai.
“Horee… Selesai. Main yuk!” ajak Ludvi senang.
“Ayo ayo,” balas Bagas mewakili sahabat-sahabatnya.
Mereka bermain petak umpet di lapangan. Tiba-tiba, datanglah pembuat onar. Ada Rifki, Abel, Rizal, dan Izzul.
“Heh, kalian. Ngapain main di lapangan kami?!” seru Rifki.
“Ini kan bukan lapangan kalian sendiri!” balas Bagas tak terima.
“Kalo gitu, masing masing beri Rp 5.000,00 ke kami!” kata Izzul.
“Ya nggak bisa,” sahut Dimas tidak terima juga.
Rifki mendorong Dimas hingga terjatuh dan terluka, lalu meninggalkannya. Teman-teman Dimas mengerubungi Dimas.
“Dimas, kamu nggak kenapa napa, kan? Ayo kuobati,” Bagas khawatir.
“Nggak apa kok. Cuma sikuku berdarah.” Dimas menatap lukanya. Namun ia merasa menduduki sebuah benda silinder.
“Ooh… seruling!”
Sahabat-sahabatnya mengerubungi. Dimas memainkan seruling, seketika lukanya sembuh. Semua kaget dan heran,
“Hah?! Lu… lukanya?” Bagas tergagap.
“Mainkan lagi,” pinta Satria.
Dimas melakukannya. Tumbuhan yang tadinya layu menjadi subur.
“Kita harus merahasiakan ini,” kata Ludvi pelan.
Namun Rifki dkk. telah mendengarnya. Mereka sembunyi di balik pohon besar.
“Kita harus mencurinya,” bisik Rizal.
“HARUS BRO!!” seru Abel.
“Diam Bel! Kedengeran nanti” bisik Izzul agak kesal. Tapi, Satria sudah mendengarnya.
“Ada yang mau mencuri seruling ini. Ayo sembunyikan!”
Mereka berlari ke rumah Ludvi. Rifki mengerjar. Namun malah di culik oleh seorang penculik. Kawan-kawannya berteriak.
“RIFKI!!!”
Ludvi yang masih di teras rumah mendengar. Segera ia mengajak teman-temannya menolong.
“Teman-teman, sepertinya Rifki sedang dalam bahaya. Ayo kita tolong!”
“Buat apa sih, Lud? Dia kan udah jahat sama kita!” bantah Bagas kesal pada Rifki dkk. Namun, akhirnya Bagas masih berbelas kasihan. Mereka tiba di lapangan.
“Ada apa dengan Rifki?” tanya Satria bingung.
“Rifki di culik,” sahut Abel sedih. Tak jauh dari situ, Nampak seorang menaiki mobil, ternyata itu penculik Rifki. “I.. itu penculiknya!” seru Rizal marah.
“KEJAAR…!!!” teriak ketujuh anak itu berlari.
“Dimas, seruling!” sahut Izzul sambil berlari.
“Oh iya!” balas Dimas mengeluarkan seruling ajaib dari sakunya.
Dimas memainkannya. Dan seketika itu, sang penculik terangkat ke atas.
“Huwaa… apa ini? Tolong aku! Cepat!” penculik ketakutan
“Serahkan teman kami! Lalu kami lepaskan.” kata Ludvi geram.
“Ya! Baik baik! Aku janji tak akan menculik anak anak lagi. Sekarang turunkan aku.”
“Janji ya!” tegas Izzul menatap tajam penculik.
Dimas berhenti memainkan serulingnya. Sang penculik kabur. Sebelumnya, ia menyerahkan Rifki. Rifki terlihat sangat lega.
“Te… teman teman, makasih ya, sudah nyelamatin aku. Ng… Dimas, dan kawan-kawan, makasih banyak udah nolong aku. Padahal kami sudah jahat sama kalian. Dan maafin kami,” ujar Rifki tulus. “Mau ga jadi sahabat kita?”
“Tentu saja mau, kawan!” Dimas mewakili teman-temannya sambil merangkul Rifki.
Tiba tiba ada anak berlari menghampiri Dimas dkk.
“Hei, kalian yang di sana!” panggil anak itu.
Lalu ia berkata pada Dimas, “Itu seruling milikku. Tolong kembalikan.” serunya sopan dan ramah.
Dimas dan yang lainnya terkejut. Ternyata itu milik anak itu. Dimas memberikan seruling itu ke anak itu yang tadinya seruling itu Dimas genggam.
Anak itu menatap serulingnya.
“Ini peninggalan dari kakekku. Tadi aku membawanya ke sini, ternyata terjatuh. Makasih, kalian sudah menemukannya.”
Sambil memberi senyum, anak itu memperkenalkan dirinya.
“Hai, namaku Novan!” katanya sambil mengulurkan tangan.
Bergantian mereka berkenalan. “Aku Dimas.” “Aku Rifki.” “Bagas.” “Satria.” “Abel.” “Rizal.” “Izzul.” “Aku Ludvi.”
Abel sambil menyengir, ia berkata
“Mau kan Novan jadi sahabat kita?”
Novan tak menyangka, ia senang sekali. Tak ragu ia mengiyakan.
“Mau dong! Aku kan suka punya teman banyak!”
Pandu dan Pandi adalah anak yang sangat ceria, mereka tinggal di Desa Jingga. Mereka kembar, teman-teman mereka adalah Nuddin Azzkhalin, Jarot autta, Aussy, Essa, Cessa, Sessa, dan Witrya Aurynea. Mereka semua adalah sepupu Pandu dan Pandi. Pandu dan Pandi akan mengajak mereka bermain di pondok pohon mereka, pondoknya berada di atas pohon. Dengan lincah Pandu dan Pandi naik ke atas, sepupu mereka segera menyusul. Di pondok mereka ada banyak buku, pastinya buku yang sangat diidamkan para kutu buku. Aku pun mengidamkannya tapi tidak bisa.
Nah, Pandi dan Pandu mulai memberi pertanyaan lucu buat mereka.
“apa yang di luar hitam di dalam putih?” Tanya Pandi disertai gelak tawa Pandu.
“Apa ya? hmm…” Seru mereka.
“Kue Tart susu!” Ujar Aussy.
“Bukan!” Sahut Pandi, lagi-lagi Pandu tertawa.
Karena kesal Aussy berkata, “apaan sih, Kak Pandu tertawa sendiri!” Timpalnya.
“Hmm… menurutku kertas hitam melapisi kertas putih! pasti betul kan?” Sahut Nuddin dengan percaya diri.
“Salah!” Ucap Pandu dengan tertawa.
“Menyerah!” Ucap Jarot dengan angkuh.
“Huh, udah menyerah masih sombong” ucap Essa dan teman-teman sambil tertawa. Satu-persatu menjawab, tapi mereka salah.
“Mau tahu jawabannya?” Tanya Pandi.
“Mau,”
“Tempe” Ucap Pandu.
“Eehh… kamu ini! Hmmm.. jawabannya..” Sahut Pandi membuat teman-temannya penasaran.
“Apa?” Tanya mereka.
“1… 2… 3… Jawabannya adalah ‘Gigi Orang Afrika’ begini biasa kan orang afrika kulitnya Hitam mengkilat saat senyum giginya terlihat Gigi Pepsodent super putihnya!” Ucap Pandi disertai tawa mereka.
“Trriiing!” Bel berbunyi.
Pandi dan Pandu dan teman-teman pun turun. Apa yang mereka lakukan? Pandi dan Pandu dan teman-teman pulang ke rumah, rumah Pandi dan Pandu adalah rumah yang sangat besar dan dijadikan tempat panti asuhan, jadi jangan salah paham Pandi dan Pandu yang punya rumah.
“Mama, Papa, sarapannya apa?” Tanya Pandu dan Pandi.
“Kesukaan kalian dan anak-anak” jawab Mama.
“Azzka, Essa, Pandu, Pandi nanti kalian pergi beli Bunga dan beberapa pohon ya! kalian yang pilih. Nanti kalian perginya diantar Pak korin” sahut Papa.
“iya pa” ucap Pandu dan Pandi.
“Siap banget, paman!” Ucap Azzka dan Essa.
Selesai makan, mereka siap-siap pergi.
“Wah, bunga azzalea-nya bagus, perpaduan dengan pohon yang itu aja ya!” Diskusi mereka.
Setelah 15 menit, mereka pun pulang. Keesokannya.
“hari ini adalah hari dimana kalian harus ikut Paman Wicky pergi ke Jakarta, sekolah yang rajin ya!” Ucap Papa dan Mama.
“Bye-bye,” sahut mereka. Mereka akan pergi ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Pandu dan Pandi dan sepupu mereka sekolah sampai 19 tahun kemudian, mereka pulang dan mereka telah selesai Sarjana.
Cerpen Karangan: Marisa
Facebook: Marisa Ling
Namaku Marisa aku adalah anak yang cantik, selanjutnya add facebook aku saja ya, Marisa Ling, aku berjualan online shop… Jangan salah!
0 comments: