Saturday, 8 July 2017

Cerpen Islami Menyentuh Hati

Cerpen adalah jenis karya sastra yang diparkan atau dijelaskan dalam bentuk tulisan yang berwujud sebuah cerita atau kisah secara pendek, jelas, serta ringkas. Cerpen bisa disebut juga dengan sebuah prosa fiksi yang isinya tentang pengisahan yang hanya terfokus pada satu konflik atau permasalahan.

Cerpen Islami

 Cerpen Islami : Tangis Untuk Mu

Malam ini aku terbangun dari tidurku begitu cepat. Dan saat ku lihat waktu masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku mendengar suara tangisan yang aku tak tau tangisan siapa itu.

"Siapa yang menangis malam-malam seperti ini?" lirihku.

Akupun beranjak dari tempat tidurku untuk mencari sumber tangisan itu. Dan langkahku terhenti ketika aku melewati lemari pakaiannku. Suara tangisan itu terdengar semakin dekat dan jelas. Awalnya aku sempat takut, namun rasa penasaran ini mengalahkan rasa takutku. Akhirnya ku memberanikan diri untuk membuka lemari itu. Dan ternyata tak ada sesuatu yang aneh disana, yang kudapati hanya pakaian-pakaianku yang tertata rapi. Namun tangisan itu semakin dekat dan semakin dekat. Hal itu yang membuatku terus mencari sumber tangisan itu dengan membongkar semua pakaianku. Pencarianku terhenti ketika ku temukan sebuah jilbab di hadapanku.

Ternyata jilbab itu yang menangis. Sungguh aku tak percaya dengan apa yang aku alami saat ini. Tapi memang benar jilbab itu yang manangis. Tak berapa lama setelah ia menagis, jilbab itu mulai mengatakan sesuatu.

“YaAllah YaTuhanku… sungguh aku bersyukur Kau mentakdirkan aku menjadi sesuatu yang Kau wajibkan bagi HambaMu, sehingga aku selalu menjadi yang berharga dan terpenting untuk mereka. Tapi tidak untuk kali ini Robb.. aku yang Kau wajibkan ini tak berharga di matanya, aku yang Kau wajibkan ini menjadi barang yang tak berguna untuknya. Aku tak pernah ia kenakan lagi Robbi.. Aku telah menjadi sejarah untuknya. Ampuni dia yaAllah, berikanlah ia hidahayahMu, sadarkan ia, jadikan ia mengerti akan kewajibanku untuknya…”

Aku yang saat itu masih berdiri di lemari yang terbuka dan dihadapan jilbab yang sedang bermunajah kepada Robb-nya hanya bisa menangis dan menyesali semua itu. Kusadari akan kelalaian kewajibanku. Aku hanya memakainya dikala waktu-waktu tertentu. Oh Robb.. ampuni aku

Tak berapa lama, aku kembali mendengar suara sesuatu yang merintih. Namun kali ini bukan lagi berasal dari jilbab yang tadi dihadapanku. Melaikan dari Al-Qur’an yang tersimpan rapi di rak bukuku.

“Ilahi.. mungkin diantara ciptaanMu aku adalah ciptaanMu yang paling suci. Benda yang selalu diagung-agungkan oleh hambaMu, sesuatu yang berisi semua firman-firmanMu , sesuatu yang dijadikan pedoman bagi semua ciptaanMu, yang jika dilantunkan hati ini menjadi tenang karnaMu. Ilahi.. sungguh aku bahagia akan takdirMu ini. Namun Ilahi, disini aku hanya menjadi buku biasa yang tak berharga. Aku hanya menjadi sesuatu yang tak bernilai. Aku telah lama disimpannya disini. Aku rindu ia yang dulu, ia yang setiap hari tak pernah melewatkan untuk melantunkan ayatMu dengan merdunya. Kini suara merdunya telah ia berikan untuk lagu-lagu yang sama sekali tidak mendekatkannya kepadaMu Ilahi. Kembalikan ia seperti dulu, maafkan kesalahannya wahai Sang Pengampun, serta berikanlah ia hidayahMu wahai Sang Pencerah”.

Setelah mendengar semua itu, tubuhku terkulai lemas. Rasanya tak sanggup lagi aku menopang tubuh ini. Dan akupun terjatuh dari tempatku berdiri. Tuhan.. sekali lagi ampuni hamba.
Selang beberapa detik. Telingaku kembali mendengar rintihan sesuatu.

‘Wahai Dzat yang menjanjikan ampunan, ampuni dia yang memilikiku. Dia yang yang selalu menyia-nyiakanku, dia yang hampir selalu menunda-nunda untuk memakaiku, menunda-nunda untuk menghadapMu. Robbi.. ampuni ia yang juga tak pernah ikhlas menjalankan kewajibanMu. Ia yang hanya mengingatMu dikala susah, dan ia yang melupakanMu di saat senang. Ampuni ia Ilahi..’
Rintihan itu trnyata dari mukenahku.

‘YaAllah.. untuk kesekian kalinya ampuni aku yang terlampau sering menunda-nunda waktu untuk berjumpa denganMu, dan ampuni aku yang yang tak pernah ikhlas menjalankan kewajibanku. Robb.. sungguh aku malu mendengar semua ini. Benda-benda ciptaanMu yang tak Kau beri akal dan hati semuanya tunduk kepadaMu. Sedangkan aku, aku yang Kau ciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, mahluk yang mempunyai akal, fikiran dan hati selalu ingkar dan lupa akanMu. Oh Ilahi.. kata maafpun rasanya tak pantas terucap dari bibir manusia yang penuh sekali dengan dosa untukMu yang tak pernah berhenti menberikan nikmat untukku. Namun hanya Engkau Tuhanku, hanya Engkau yang patut aku sembah, dan hanya kepadaMu aku memohon ampun. Ampuni hamba Robb..’

Dan lagi-lagi aku mendengar rintihan dan tangisan yang sangat dekat dengan telingaku. Dekat sekali. Ternyata rambut panjang yang menjadi icon kebanggaankulah yang menangis dan merintih.

‘Wahai yang Maha Agung. Aku bahagia telah menjadi mahkota untuk HambaMu. Aku telah mengindahkan rupa mereka atas izinMu. Tapi yaAllah.. sungguh aku malu menjadi mahkota wanita yang ini. Wanita yang mempertontonkan aku kepada siapa saja yang bukan muhkrim baginya. Dengan mudah dan begitu bangganya dia memamerkan keindahanku. Oh Robb.. sungguh aku malu, aku malu telah di pertontonkan, dan aku malu telah dipamerkan. Terbakar oleh api nerakaMu jauh lebih baik untukku dari pada aku terus dipermalukan olehnya. Ku mohon bakar aku robbi, bakar aku, bakar aku, bakar aku, bakar aku………….’
“TIDAK…………………….” Teriakku.
Aku terbangun dari tidurku.

“YaAllah ternyata semua itu hanya mimpi. Mimpi indah sekaligus mimpi buruk untukku. Indah karena Kau ingatkan aku. Buruk karena aku malu akan semua sikap-sikapku.”
Segera aku beranjak dari tempat tidurku untuk mengambil air wudhu dan mendirikan sholat malam yang hampir tak pernah aku dirikan.
Robbi..

Izinkan aku mengucap taubat kepadaMU
Izinkan aku memohon ampunanMU
Bantu aku untuk memenuhi segala kewajibku
Bantu aku untuk menjahui segala laranganMU
Serta bantu aku untuk tidak kembali ke jalan yang bukan RidhoMU
Ilahi..
Jadikan taubatku ini taubatan nasuhah
Dan jadikan hijrahku hijrah yang kaffah

Mentari Dibalik Jilbab

Aku adalah seorang cewek yang hidup di suatu daerah ang masyarakatnya masih sangat kolot pemikirannya, dan masih sedikit sekali akan pengetahuan agama Islam. Aku tahu kalao berjilbab wajib hukumnya bagi umat islam, tapi aku tak tahu bagaimana cara melakukan kewajiban itu, sedangkan keluarga dan biaya untuk membeli pakaian muslimah sangat tidak mendukung. Meski begitu aku selalu berharap suatu hari nanti Allah pasti memberi jalan kepadaku untuk melaksanakan kewajiban itu.

“Setiap saat aku menjalankan sholat, aku harus selalu mengenakan pakaian jilbab.” Bisiku dalam hati kecil, tapi segera aku sadar hatiku langsung berdetak “deg” dan wajahku mulai memerah, matakupun berkaca-kaca. Aku mulai teringat akan keadaanku yang tidak mungkin untuk membeli pakaian jilbab.

Orang tuaku bukanlah orang kaya, tetapi juga bukan orang yang melarat. Dan sebenarnya mereka mampu untuk membeli pakaian jilbab itu. Aku memaklumi hal itu karena orang tuaku bukanlah golongan orag santri yang mengerti tentang masalah agama, dapat digolongkan islamnya itu hanya islam KTP, sehingga kepentingan berjilbab seringkali mereka anggap sutu hal yang neko-neko.

Tapi aku selalu mencoba untuk bersabar, aku juga sering kali menceritakan keinginanku itu pada teman-temanku yang sudah berjilbab, tapi tidak juga mendapatkan jalan keluar. Aku anggap ini adalah cobaan bagiku dan aku harus bersabar.

3 Bulan telah berlalu, Temanku Neza mengatakan kepadaku kalau sekarang ada gerakan 1000 jilbab. Jadi anak-anak yang belum berjilbab akan mendapat bantuan dari anak remas. “Alhamdulillah” Ucapku dalam hati.

Lega rasa hatiku mendengar perkataan temanku Neza. Aku tidak begitu merasa malu mengingat jilbab merupakan kebutuhan, meskipun aku harus mendapatkanya dengan orang lain. Setelah aku menerima pakaian jilbab dari pihak remas, aku merasa sangat bahagia dan aku kira tak ada lagi cobaan yang berarti karna aku tinggal memakainya tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tapi kenyataanya tak seindah yang kubayangkan. Ternyata mengenakan jilbab lebih berat cobaanya daripada mendapatkannya.

Cobaan yang datang dari berbagai pihak. Dari orang tua, kakak, adik, mereka selalu mencomoohku dengan berbagai kata-kata yang kasar dan kotor. Yang nggak pantas lah, dan berbagai macam penghinaan yang lain harus kuterima setiap waktu. Aahku juga sering mengatakan kalau aku bersikeras memakai jilbab, beliau tidak akan menyekolahkan dan tidak mengurusku lagi. Sementara ibuku yang paling kucintai ternyata berpendapat sama dengan ayahku.

“Dengarkan,, Kamu tidak akan mati meskipun kamu tidak pakai jilbab” bentak ibuku
“tapi bu....!!!”
“tidak tapi-tapian, lagipula kalo belum tahu dalilnya tidak usah berpakaian seperti itu. Tidak ada gunanya....!!! Sela kakakku yang juga sependapat dengan mereka.

Aku kecewa sekali mendengar perkataan mereka, aku hanya bisa menjawab dengan tangisan-tangisan yang tidak berarti bagi mereka. Seakan-akan aku tak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Air mataku seakan tak pernah berhenti mengalir. Hanya saat sekolah dan mengaji lah hatiku bisa merasa tenang dan bahagia. Dan hanya satu anak lelaki yang mendukungku untuk memakai jilbab, namun dia berada jauh dariku. Dengan keadaan yang seperti itu aku tidak tahan lagi menghadapinya.

“sabar...sabar...mungkin itu memang cobaan yang harus kamu hadapi” Hibur Neza “iya... kamu harus kuat... kamu harus bersabar... karena membawa kebenaran ditengah kedzaliman itu amatlah mulia” Sela salah seorang teman yang selalu setia menemaniku.

“Walau sekejam-kejamnya orang tua pasti juga tidak akan membunuh anaknya sendiri” tambah Neza
Semua perkataan itu menbuatku tenang dan tentram apabila aku berada di rumah.

“apakah orang tuaku termasuk orang yang zalim ?” pikirku dalam hati yang selalu bertana-tanya.

Hari demi hari kulalui dengan bersabar meskipun ucapan-ucapan dan kurang baik dari keluargaku itu selalu membuat nafsu amarahku bangkit. Namun demikian aku selalu mencoba untuk menghibur diriku sendiri dalam menghadapi semua masalah yang ada.

Satu bulan aku telah berjilbab, aku merasa lega dan bangga pada diriku sendiri karena sejak saat itu aku mulai mengerti bahwa begitu bervariasinya hidup di dunia ini, penuh dengan tangis, canda, tawa, dan semuanya. Benar kata seorang pujangga yang menyatakan bahwa “dunia ini terasa seperti panggung sandiwara yang ceritanya mudah sekali untuk berubah”
sumber : www.gen22.net

Renungan Napas Yang Mereda


Jarum jam dinding yang melaju terdengar jelas di telingaku, detik demi detik berjalan begitu cepat. Lantunan ayat suci Al-Qu’ran yang terdengar dari arah timur sana membuat hati ini semakin tenteram dan damai. Ternyata terlihat seorang Kakek yang sedang menghafal ayat-ayat suci itu, badannya begitu bungkuk sedang berdiam diri di sebuah kursi yang sudah tua, dengan tak disangka-sangka Kakek itu sedang menghafal tanpa melihat bacaan sedikit pun. Inallilahi, ternyata dia tidak punya penglihatan sama sekali, sejak lahir dia sudah tidak bisa melihat dunia yang diciptakan Allah SWT ini.

Oh Tuhan, sungguh malang nasibnya, hidupnya tanpa ditemani oleh siapa-siapa. Istri Kakek itu telah meninggal sejak 1 tahun yang lalu, dan Kakek itu tidak mempunyai anak sama sekali. Kini dia hanya hidup sendiri tanpa dirawat oleh siapapun. Setiap hari Kakek itu selalu melantunkan ayat-ayat dengan begitu merdu, dia telah menjadi penghafal Al-Qur’an yang begitu hebat. Sudah hampir 10 juz yang telah dia hafalkan tanpa melihat itu. Sungguh luar biasa.

Dahulu si Kakek mempunyai anak angkat yang begitu saleh dan rajin sehingga Kakek itu bisa menjadi penghafal karena diajarkan oleh anak angkatnya itu, tetapi kini anak angkatnya itu sedang bekerja di Saudi Arabia bersama sang istri, dikarenakan mereka tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang layak di kampung ini, jadi mereka memutuskan untuk pergi ke Saudi dan terpaksa harus meninggalkan Kakek demi mengejar pekerjaannya itu.

“mah, sore ini Fiya mau ke pesantren lebih awal yah? Soalnya hari ini Fiya bagian piket kelas.” ucapku sambil memakan gorengan di meja makan.
“iya Fiya, kalau begitu kamu tingal berangkat saja, sekarang Mamah mau pergi dulu ke warung.” Tembal Mamah.

Hari semakin sore dan aku pun bersiap untuk sekolah di pesantren Al-Hikmah yang tak jauh dari rumah. Memang setiap sore aku harus sekolah dan menimba ilmu di pesantren itu khususnya ilmu agama, biar agamaku semakin kuat dan tidak lemah, karena semakin hari menurutku dunia semakin kritis tingkat keagamaannya jadi aku takut banget kalau suatu hari nanti aku tidak punya bekal untuk ku bawa ke rumah Allah nanti.

“Assalamualaikum, selamat sore kek, kenapa gak dilanjutkan mengajinya kek? Fiya senang banget loh dengar Kakek mengaji, suaranya merdu banget.” Ucapku menghampiri Kakek yang terlihat sedang memegang Al-Qur’an.
“Waalaikumsalam, eh nak Fiya. Iya Kakek sedang menunggu waktu salat Ashar nih, jadi Kakek berhenti sejenak dulu. Fiya mau ke mana?” tanya Kakek.
“Fiya mau ke pesantren kek, kebetulan lihat Kakek di luar jadi Fiya mampir dulu ke sini deh.” jawab aku.
“oh iya iya, ya sudah Fiya berangkat saja ke pesantren nanti telat loh.” Sahut Kakek.
“iya kek, tapi bentar lagi aja deh, Fiya mau temenin Kakek dulu. Boleh?” tanyaku.
“oh, boleh.. tentu boleh dong.” tembal Kakek tersenyum.

“oh iya kek, Fiya boleh gak kalau belajar ngaji sama Kakek, soalnya Fiya seneng banget dengerin Kakek mengaji dengan lagam begitu?” tayaku malu.
“ya tentu saja boleh, dengan senang hati. Tapi memangnya Fiya gak belajar ngaji di pesantren?”
“belajar sih, cuma Fiya mau lebih lancar lagi baca dan menghafalnya, biar Fiya bisa kayak Kakek. Hehehe.” ucapku tertawa miris.
“siap deh, kalau begitu nanti setelah maghrib Fiya datang saja ke rumah Kakek yah.”
“oke kek, ya sudah Fiya berangkat dulu ya kek, Assalamualaikum kek.”

Suara Adzan Ashar telah bergema, aku harus cepat-cepat sampai ke pesantren sebelum terlambat, mana aku belum piket lagi. Dari kejauhan anak-anak terlihat sedang melakukan persiapan salat Ashar yang selalu berjemaah itu, dengan segera aku lari menuju pesantren.
“Assalamualaikum.” ucapku ngos-ngosan.
“Waalaikum salam.” jawab anak-anak serempak.
Aku segera membawa mukenaku dan segera memakainya.



“Assalamualaikum kek.” Sahutku mengetuk pintu rumah Kakek itu.
“Waalaikumsalam, masuk.” Terdengar suara Kakek menjawab dari kejauhan, dengan segera aku masuk ke rumah dan langsung menghampiri Kakek, terlihat dari ruang tengah yang cukup luas ini Kakek sedang berbaring di tempat tidurnya yang bernuansa zaman dahulu itu.
“Kakek kenapa?” tanyaku menghampiri Kakek.
“Kakek cuma agak pusing sedikit. Fiya mau belajar ngaji sekarang yah?” tanya Kakek balik.

“iya kek, tapi melihat kondisi Kakek begini kayaknya gak jadi deh, Kakek harus istirahat biar pusingnya bisa hilang. Oh iya, Kakek mau dibelikan obat apa sama Fiya, biar Fiya sekarang ke apotek?” tanyaku menawarkan Kakek untuk membeli obat ke apotek, karena aku kasihan sama Kakek yang sudah tidak ada yang mengurus dia lagi.
“gak usah Fi, Kakek udah biasa kok pusing kayak begini, ditidurkan sebentar aja nanti sembuh kok.” sahut Kakek lemas.
“ya sudah kalau begitu Fiya masakin bubur ya kek, biar Kakek makan biar bisa cepet sembuh.”

Melihat kondisi Kakek kayak gini aku semakin tersentuh dengan kehidupannya yang begitu pahit ini, Kakek setiap hari harus merasakan kesendirian, sehingga melakukan aktivitasnya pun tanpa ditemani oleh siapapun. Ya Allah berilah dia ketabahan untuk melewati semuanya. Dengan semangatnya aku membuat semangkuk bubur yang hanya diberi kecap asin sedikit. Dapur yang luas dengan pernak-pernik lumayan berkelas ini membuatku nyaman dalam memasak, ruangannya pun selalu bersih. Memang Kakek yang satu ini meskipun tidak melihat tetapi sangat hidup bersih, Kakek ini pun termasuk orang yang tergolong di atas lah. Meskipun Kakek tergolong kaya tapi Kakek tidak pernah sombong dengan semua yang dimilikinya.

“kek ini buburnya, Fiya simpan di meja yah. Sekarang Fiya mau salat dulu karena adzan sudah bergema.” ku simpan bubur itu di meja dekat tempat tidur Kakek.
“Fiya tunggu, Kakek juga mau wudu. Tolong bantu Kakek berdiri yah.”

Subhanallah, Kakek ini sangat mentaati perintahmu Ya Allah, meskipun badan dia sedang sakit tapi dia tetap menjalankan perintahmu, beda halnya dengan orang lain. Aku membantu Kakek berwudu ke kamar mandi dan kami pun salat berjamaah. Setelah salat berjamaah aku dan Kakek mengaji, sekaligus Kakek mengajarkanku mengaji dengan memakai lagam. Senangnya, ini adalah hari pertamaku belajar mengaji bersama Kakek. Merinding sekali rasanya malam ini mendengar Kakek mengaji ketika sedang mengajariku. Selang 1 jam, ngaji pun selesai, aku segera menyuruh Kakek untuk memakan bubur itu dan kemudian istirahat lagi, biar badannya bisa Vit kembali, dan besok aku akan kembali menjenguk Kakek setelah pulang sekolah.

Pagi yang cerah menyambutku dengan ceria, mengantarkanku ke gerbang sekolah menengah atas yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, kira-kira 2 km yah. Matahari bersinar begitu hangatnya, sehingga tubuh pun mengikuti alur hangatnya itu. Terlihat temanku yang sudah berhamburan ke kelas yang bercat ungu itu, aku pun segera berlari menuju kelas itu. Hufttt kesiangan lagi. Hahaaaah.

Tujuh jam berlalu begitu cepat, kini saatnya aku harus pulang dan segera menjenguk Kakek itu kembali. Dengan begitu buru-buru aku segera pulang dengan persaan yang begitu cemas akan keadaan Kakek, gak tau kenapa tiba-tiba aku merasakan kegelisahan yang amat luar biasa. Tak lama aku sampai di rumah Kakek, dan langsung mengetuk pintu dengan begitu keras. Entah kenapa tidak disahut terus, aku pun memutuskan untuk masuk. Tapi ternyata setelah aku lari ke mana-mana Kakek tak kunjung ditemukan.

“kek, Kakek. Kakek di mana? Ini Fiya kek?” aku terus memanggil Kakek sampai ke mana-mana, tiba-tiba ada seorang Ibu yang mengatakan Kakek di rumah sakit karena tadi ada yang menemukan bahwa Kakek jatuh pingsan ketika dia hendak akan ngaji seperti biasanya di luar rumah.

Di rumah sakit. Terlihat di luar ruangan ada Mamah aku yang sedang menunggu, ternyata Mamah aku yang menolong Kakek ke rumah sakit.
“mah, gimana keadaan Kakek, baik-baik saja kan?” tanyaku gelisah.
“Mamah juga gak tahu, sekarang dokter sedang memeriksa Kakek.”
“dengan keluarga Bapak Ake?” tanya dokter yang telah menangani Kakek itu.
“Bapak ake tidak bisa diselamatkan, dikarenakan keterlambatan dibawa ke rumah sakit, penyakit tumornya itu telah menggerogotinya terlalu lama, sehingga tim medis tidak bisa untuk mengobatinya lagi.” Jelas dokter.
“inallilahi wainaillaihirodziun.”

Ya Allah, kenapa mesti begini. Ternyata orang yang sangat mulia di hadapanmu meninggal dengan disertai penyakitnya itu, dia begitu sabar Tuhan. Kenapa engkau mengujinya begitu berat.
“Fiya gak percaya, Fiya baru saja satu hari belajar ngaji sama Kakek mah, kenapa harus secepat ini. Kasihan Kakek mah.” Ucapku pada Mamah dengan air mata yang begitu deras.
“iya Fiya, Mamah juga tidak percaya, orang setabah dan sebaik Kakek Ake bisa meninggal secepat ini.” Tembal Mamah.

Ya Allah rasanya aku bermimpi sangat buruk sekali, ini rasanya mimpi terburuk yang pernah ada dalam hidupku. Tapi lagi-lagi ini bukan mimpi Tuhan. Aku belum bisa percaya ini semua terjadi menimpa Kakek baik hati itu. Ya Allah, sudah pasti penghafal kitab suci itu masuk ke dalam Surgamu Ya Allah. Karena dia telah menunjukkan dengan keterbatasannya, bahwa dia memiliki kemampuan melebihi orang yang sempurna. Amin.

Kini aku tak bisa melihat sang Kakek di depan rumah yang sedang mengaji Al-Qur’an, kini aku tidak akan pernah lagi mendengar suara merdunya itu. Mulai sekarang motivasiku untuk menghafal Al-Qur’an akan ku wujudkan. Bismillahirahmanirrohim.

Cerpen Karangan: Ana Oktaviana
Blog: http://anaoktaviana22.blogspot.co.id
Ana Oktaviana. Ciamis, 22 Oktober 1997
Sekolah: SMA N 1 B Aregbeg


SHARE THIS

Author:

Etiam at libero iaculis, mollis justo non, blandit augue. Vestibulum sit amet sodales est, a lacinia ex. Suspendisse vel enim sagittis, volutpat sem eget, condimentum sem.

0 comments: